sekedar mendokumentasikan apa yang perlu didokumentasikan

Archive for July, 2009|Monthly archive page

PEMULUNG NAIK KRL UNTUK MENGUBUR ANAKNYA

In Berita on July 10, 2009 at 3:56 am

PEJABAT Jakarta seperti ditampar. Seorang warganya harus menggendong mayat anaknya karena tak mampu sewa mobil jenazah. Penumpang kereta rel listrik (KRL) jurusan Jakarta – Bogor pun geger Minggu (5/6). Sebab, mereka tahu bahwa seorang pemulung bernama Supriono (38 thn) tengah menggendong mayat anak, Khaerunisa (3 thn). Supriono akan memakamkan si kecil di Kampung Kramat, Bogor dengan menggunakan jasa KRL.

Tapi di Stasiun Tebet, Supriono dipaksa turun dari kereta, lantas dibawa ke kantor polisi karena dicurigai si anak adalah korban kejahatan. Tapi di kantor polisi, Supriono mengatakan si anak tewas karena penyakit muntaber. Polisi belum langsung percaya dan memaksa Supriono membawa jenazah itu ke RSCM untuk diautopsi.

Di RSCM, Supriono menjelaskan bahwa Khaerunisa sudah empat hari terserang muntaber. Dia sudah membawa Khaerunisa untuk berobat ke Puskesmas Kecamatan Setiabudi. “Saya hanya sekali bawa Khaerunisa ke puskesmas, saya tidak punya uang untuk membawanya lagi ke puskesmas, meski biaya hanya Rp 4.000,- saya hanya pemulung kardus, gelas dan
botol plastik yang penghasilannya hanya Rp 10.000,- per hari,” ujar bapak 2 anak yang mengaku tinggal di kolong perlintasan rel KA di Cikini itu. Supriono hanya bisa berharap Khaerunisa sembuh dengan sendirinya. Selama sakit Khaerunisa terkadang masih mengikuti ayah dan kakaknya, Muriski Saleh (6 thn), untuk memulung kardus di Manggarai hingga Salemba, meski hanya terbaring digerobak ayahnya.

Karena tidak kuasa melawan penyakitnya, akhirnya Khaerunisa menghembuskan nafas terakhirnya pada Minggu (5/6) pukul 07.00. Khaerunisa meninggal di depan sang ayah, dengan terbaring di dalam gerobak yang kotor itu, di sela-sela kardus yang bau. Tak ada siapa-siapa, kecuali sang bapak dan kakaknya. Supriono dan Muriski termangu. Uang di saku tinggal Rp 6.000,- tak mungkin cukup beli kain kafan untuk membungkus mayat si kecil dengan layak, apalagi sampai harus menyewa ambulans. Khaerunisa masih terbaring di gerobak. Supriono mengajak Musriki berjalan menyorong gerobak berisikan mayat itu dari Manggarai hingga ke Stasiun Tebet, Supriono berniat menguburkan anaknya di kampong pemulung di Kramat, Bogor. Ia berharap di sana mendapatkan bantuan dari sesama pemulung.

Pukul 10.00 yang mulai terik, gerobak mayat itu tiba di Stasiun Tebet. Yang tersisa hanyalah sarung kucel yang kemudian dipakai membungkus jenazah si kecil. Kepala mayat anak yang dicinta itu dibiarkan terbuka, biar orang tak tahu kalau Khaerunisa sudah menghadap Sang
Khalik. Dengan menggandeng si sulung yang berusia 6 thn, Supriono menggendong Khaerunisa menuju stasiun.

Ketika KRL jurusan Bogor datang, tiba-tiba seorang pedagang menghampiri Supriono dan menanyakan anaknya. Lalu dijelaskan oleh Supriono bahwa anaknya telah meninggal dan akan dibawa ke Bogor spontan penumpang KRL yang mendengar penjelasan Supriono langsung
berkerumun dan Supriono langsung dibawa ke kantor polisi Tebet. Polisi menyuruh agar Supriono membawa anaknya ke RSCM dengan menumpang ambulans hitam.

Supriono ngotot meminta agar mayat anaknya bisa segera dimakamkan. Tapi dia hanya bisa tersandar di tembok ketika menantikan surat permintaan pulang dari RSCM. Sambil memandangi mayat Khaerunisa yang terbujur kaku.

Hingga saat itu Muriski sang kakak yang belum mengerti kalau adiknya telah meninggal masih terus bermain sambil sesekali memegang tubuh adiknya.

Pukul 16.00, akhirnya petugas RSCM mengeluarkan surat tersebut, lagi-lagi karena tidak punya uang untuk menyewa ambulans, Supriono harus berjalan kaki menggendong mayat Khaerunisa dengan kain sarung sambil menggandeng tangan Muriski. Beberapa warga yang iba memberikan
uang sekadarnya untuk ongkos perjalanan ke Bogor. Para pedagang di RSCM juga memberikan air minum kemasan untuk bekal Supriono dan Muriski di perjalanan.

Psikolog Sartono Mukadis menangis mendengar cerita ini dan mengaku benar-benar terpukul dengan peristiwa yang sangat tragis tersebut karena masyarakat dan aparat pemerintah saat ini sudah tidak lagi perduli terhadap sesama. “Peristiwa itu adalah dosa masyarakat yang
seharusnya kita bertanggung jawab untuk mengurus jenazah Khaerunisa. Jangan bilang keluarga Supriono tidak memiliki KTP atau KK atau bahkan tempat tinggal dan alamat tetap. Ini merupakan tamparan untuk bangsa Indonesia,” ujarnya.

Koordinator Urban Poor Consortium, Wardah Hafidz, mengatakan peristiwa itu seharusnya tidak terjadi jika pemerintah memberikan pelayanan kesehatan bagi orang yang tidak mampu. Yang terjadi selama ini, pemerintah hanya memerangi kemiskinan, tidak mengurusi orang miskin
kata Wardah. []

Warta Kota, 2005

Hilangnya Peluang Kerja

In Opini on July 9, 2009 at 4:09 pm

Ario Djatmiko, Staf Pengajar Fakultas Kedokteran UNAIR

AIRPORT adalah wajah satu negara. Padatnya lalu lintas internasional menunjukkan posisi ekonomi negara di mata dunia. Kalau jeli, Anda akan melihat setiap airport selalu berkembang dinamis. Yang mencolok, Duty Free Shops bukan tempat favorit lagi. Di mana-mana terlihat manusia tekun menghadapi komputer tanpa bicara. Sunyi!

Artinya, lalu lintas bisnis berputar dengan kecepatan tak terbayangkan, tanpa henti, tidak mengenal tempat dan waktu. Benar, don’t ever blink your eyes, the opportunity will past. Manusia jenis apakah yang mampu berselancar di arus bisnis yang mengerikan ini?

Manusia vs Teknologi
Perkembangan teknologi tak dapat dibendung. Pertarungan manusia melawan mesin untuk berebut kerja tak terelakkan. Tom Peters menghitung, pada 1970-an, unloading satu kapal memerlukan 108 pekerja dan lima hari kerja. Saat ini, cukup delapan orang dan satu hari kerja.

Teknologi menang. Containerization menyingkirkan 98.5 persen tenaga manusia. Pasar global butuh aturan main yang jelas dan standar global. Produktivitas kerja—standar, efisiensi dan efektivitas—diukur dalam time and money. Tampaknya, pekerja otot semakin tidak punya tempat di bumi ini.

Tom Peters juga melihat 90 persen pekerjaan white collar terancam hilang. Manufaktur dan back office terus mencari tempat dan cara yang lebih murah, outsourcing. Tiongkok dan India mengancam kehidupan pekerja analisis Barat. Automatisasi masuk ruang analisis.

Daniel Pink (2006) mencatat, 21 juta orang di Amerika telah mengganti pekerjaan akuntan dengan software sederhana. Terjadi herd-principle, tenaga terampil bergerak layaknya kelompok hewan yang terus berpindah mencari lahan subur. Tidak ada lagi pekerjaan yang aman di dunia ini. Pemimpin Intel, Craig Barret menulis di The Economist, “Saya ketakutan memikirkan nasib anak-cucu saya”.

Era Keserakahan
Tentang survival, Charles Darwin mengingatkan, it’s not the strongest of the species who survive, nor the most intelligent… but the most responsive to change.

Iklim akan menentukan tata nilai, dasar berpikir, dan cara pandang manusia. Kita tak dapat mengelak, hanya iklim kapitalisme dan neoliberalisme-lah yang ada saat ini.

Dalam bukunya, The Flight of The Creative Class, Richard Florida menulis sebuah dogma, greed is good. Keserakahan mendorong manusia mengejar uang tanpa batas. Mendorong orang bekerja keras, mendorong terjadinya ledakan teknologi, terus mencipta, dan seterusnya.

Setiap manusia akan memaksimalkan kegunaan miliknya dan otomatis menjadi penjaga pasar agar berjalan efisien. Greed, in other words, is the sin qua non of the creation of wealth, the fuel that drives our economic engine.

Tentang kapitalis, Robert P. Murphy mengatakan, tidak ada sistem lain yang lebih sukses meningkatkan derajat hidup manusia. Kebebasan memilih, proses jual-beli produk yang sehat menggiring kita menemukan nilai tertinggi yang kita ingingkan.

Tenaga kerja pun dikemas menjadi barang dagangan. Pertimbangan dalam membeli tenaga kerja hanyalah nilai tambah ekonomi si pekerja, bukan ikatan solidaritas, bukan pula primordial, apalagi rasa kasihan. Meritokrasi efektif menghasilkan tenaga unggul, tetapi dapat berakibat sangat kejam.

Kompetisi adalah “agama” baru di bumi ini. Lalu, lahirlah manusia-manusia berotak super. Arus mengerikan itu juga membawa peluang. Hanya si otak super-lah yang mampu menangkap peluang tersebut.

Muncul kisah sukses Sergey Brin, Larry Page, Matt Mullenweg, Mark E. Zuckerberg, dan lainnya, yang muda bergelimang dolar. Di sisi lain, manusia tidak unggul, berjatuhan. Menurut ukuran meritokrasi, they deserve to get it, mengerikan!

Pengetahuan & Kreativitas
Daniel Pink menyebut abad 21 adalah era konseptual. Tata kerja dan cara hidup berubah total. Di sini, otak-otak kreatiflah pencipta dan pendorong utama pertumbuhan ekonomi. Kegagalan melihat ke depan dan terbatasnya kemampuan memahami perubahan merupakan penyebab kematian perusahaan. Lingkungan bergerak semakin kompleks dan otak manusia menjadi begitu berharga. The war of talent, perang dahsyat antar perusahaan yang memperebutkan manusia super. Di sisi lain, tak mungkin lagi manusia bertahan hidup tanpa knowledge.

Richard Florida membagi pekerjaan menjadi 3 kategori. Pekerjaan manufaktur, industri jasa, dan pekerja kreatif. Grafik menunjukkan, pekerja manufaktur menurun drastis akibat kehadiran teknologi. Penurunan juga terjadi di sektor jasa. Tetapi ruang pekerja kreatif justru meningkat tajam. Di Amerika saat ini, pekerja kreatif telah mencapai 30 persen, atau 40 juta orang dan merebut 47 persen kekayaan.

Hubungan kerja berubah sesuai kebutuhan. Kebebasan kerja yang merupakan idaman kaum muda menjadi kenyataan. Pekerja lepas yang sangat produktif hadir di mana-mana. Tak perlu menjadi pegawai, gagasan cemerlang bebas ditawarkan ke mana saja.

Membina karir tidak zaman lagi. Banyak perusahaan melihat, pegawai lama justru menjadi penghambat. Hubungan kerja kian longgar. Hadirnya outsourcing dan sistem kontrak membuat perusahaan lebih memilih hubungan kerja pendek, elastis sesuai sikon. Juga lebih dinamis, efisien dan rendah resiko.

Peradaban Tertinggal
Peta terus bergerak tak tentu arah. Manusia berotak super tersenyum berselancar. Teknologi semakin siap mengganti tenaga manusia. Sementara itu, komposisi tenaga kerja kita kian mencemaskan, 90 persen unskilled worker. Pemerintah tidak berdaya menghadapi tekanan global, pasar dibuka. Pertarungan tak terelakkan, meritokrasi berjalan.

Lihat, harga satu pekerja otak Amerika dapat membeli 10 pekerja otak India. Hukum dagang pun berlaku. Barat ketakutan. Di Belanda, setiap peluang kerja harus untuk orang Belanda. Prioritas kedua, pekerja EU. Bila tetap tidak ada, baru ditawarkan di luar EU. Satu contoh sikap pemerintah yang jelas melindungi rakyatnya.

Tetapi, bagaimana nasib negeri ini? Yang sebagian besar rakyatnya tak mampu mengikuti cara kerja era baru. Dan, dalam ukuran meritokrasi, memang layak tersingkir! Telanjang, tanpa persiapan, berhadapan dengan petarung dunia. Lantas, pemerintah di mana?

Castel meramal, akan muncul dunia ke-4, kelas untuk manusia-manusia tersingkir. Sebaiknya Anda menonton Demolition Man, film tentang manusia yang hidup di gorong-gorong karena tak sanggup menghadapi peradaban baru di permukaan. Tinggal menghitung hari… masih adakah yang bisa kita lakukan bersama? []

19112007, Radar Bogor

Presiden dan Tukang Kritik

In Opini on July 4, 2009 at 3:05 pm

Dony Kleden*

APABILA tukang kritik dibungkam, demokrasi menemukan ajalnya. Kehadiran tukang kritik adalah suatu keniscayaan dalam sebuah pemerintahan yang demokratis. Menihilkan tukang kritik sama dengan membangun pemerintahan yang tiran dan otoriter.

Bangsa Indonesia dihebohkan dengan pemberlakuan Pasal 134 dan 136 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berisi hukuman bagi mereka yang menghina presiden. Kontroversi tentang keberadaan, penafsiran, dan penerapan pasal ini masih berlanjut. Yang kontra menginginkan agar kedua pasal ini dihapus karena merupakan produk penjajah yang dilestarikan rezim Orde Baru (Orba). Sementara itu yang pro berusaha mempertahankan demi wibawa Presiden.

Baik pro maupun kontra tentu punya kepentingan di balik itu. Yang jelas, sejak pemerintahan SBY-JK sudah lima orang dituntut di pengadilan karena dinilai menghina Presiden.

Mereka adalah Bay Harkat Jhonday Firdaus (mahasiswa, 24), didakwa membakar foto SBY dan JK, menentang kenaikan BBM; I Wayan Gendo Suardana (mahasiswa, 29) didakwa menghina Presiden karena membawa poster SBY yang wajahnya dicoret-coret bak drakula; Fahrul Rahman (mahasiswa, 22), didakwa menghina Presiden saat menjadi orator dalam ujuk rasa Aliansi Rakyat Bergerak dan Adili Soeharto; Pandapotan Lubis (wiraswasta, 42), didakwa menghina Presiden karena memasang spanduk dan foto SBY dan JK yang bertulis No Trust dan Go Down; dan Eggi Sudjana (pengacara, 46), didakwa menghina Presiden karena menyebut Presiden menerima mobil jaguar dari pengusaha Harry Tanoesoedibjo.

Korban-korban penggunaan pasal penghinaan presiden menggugat ke Mahkamah Konstitusi. Mereka meminta supaya pasal ini dihapus (Tempo, 15/10/2006)

Penghinaan atau kritik?

Pertanyaan paling awal saat berhadapan dengan kasus yang kini sedang ditangani terkait penghinaan Presiden adalah, apakah itu penghinaan atau kritik? Apa esensi dan jangkauan kedua kata ini?

Kedua kata ini punya kandungan arti berbeda. Penghinaan cenderung berbuah sentimen, iri hati, dan tidak ada motivasi luhur di balik aksi itu. Sementara itu kritik selalu punya motivasi luhur, karena memperjuangkan sesuatu yang nilainya tinggi.

Berpijak dari perbedaan sederhana ini sebenarnya cukup untuk menempatkan apakah aksi-aksi yang oleh mereka yang mengatakan sebagai penghinaan terhadap Presiden bisa dinegasi. Jika kritik disamakan dengan penghinaan, yang muncul adalah saling menyerang dan menyalahkan lalu lupa esensi dari kritik itu sendiri.

Pada dirinya mengandung dua fungsi, prefentif dan kuratif. Fungsi prefentif kritik adalah mau mengingatkan agar segala kemungkinan negatif tak terjadi dan karena itu harus diantisipasi (fungsi kontrol).

Maka, fungsi kritik jangan dilihat sebagai post factum, sebab jika tidak, kritik akan jatuh ke arti negatif lalu disebut sebagai penghinaan. Kritik berfungsi untuk menghindari keadaan abuse of power.

Sementara itu fungsi kuratif bertujuan memperbaiki kesalahan atau menormalkan situasi. Seorang pemimpin yang rasional selalu melihat kritik dalam dua fungsi ini. Jika tidak, ia akan mudah tersinggung dan amat sensitif terhadap kitik.

Budaya kritik dan demokrasi

Dalam pemerintahan yang demokratis, budaya kritik harus dikembangsuburkan. Pemerintahan yang demokratis meniscayakan budaya kritik karena budaya kritik dapat mendinamisasi sebuah pemerintahan. Kritik sebenarnya memberi sintesis perbaikan dan penyempurnaan untuk proses menegara. Seno Gumira Ajidarma dalam epilog buku Matinya Tukang Kritik (2006) karya Agus Noor mengatakan, dunia bertambah sempurna karena kontribusi sikap kritis. Karena itu, berlaku diktum, kritik mutlak perlu demi kemajuan zaman dan kebaikan bersama. Dengan kata lain, keberadaan kritik mutlak sebagai bagian idealitas sendiri, dan di sanalah kritik ideologi mendapat pembenaran atas kehadirannya. Lagi katanya, lenyapnya tukang kritik, bukan sukses kebudayaan, tetapi awal ketertindasan baru.

Kini menjadi jelas, hadirnya tukang kritik menjadi pilar sebuah pemerintahan yang demokratis. Matinya tukang kritik melahirkan pemerintahan yang tiran dan otoriter. Dalam sejarah bangsa Indonesia, kita mengalami matinya tukang kritik pada rezim Orba yang disebut rezim pemangsa. Pada rezim itu, hadirnya tukang kritik ditabukan. Geliat politik Orba selalu dalam pengawasan dengan sistem panotisme, sistem kekuasaan yang menyentuh kesadaran (Michel Foucault, 1979). Sistem kekuasaan yang panoptik membuat orang ada dalam ketakutan. Rakyat lemah inovasi, bahkan hak-hak politiknya digerayang dan dikebiri rezim pemangsa.

Selama 32 tahun kita mengalami sistem pemerintahan panoptik yang kasar. Sri Bintang Pamungkas adalah salah satu tokoh tukang kritik yang dipasung. Ia dituduh menghina Presiden Soeharto sehingga dijatuhi hukuman penjara.

Kini kita yang hidup di alam reformasi tidak ingin kembalinya pemerintahan yang tiran, pemerintahan yang otoriter. Kita ingin agar tiap warga bebas mengaplikasikan hak-hak politiknya. Janganlah ada hak politik yang dibungkam, janganlah ada kebebasan yang dirampas. Pemerintahan yang demokratis adalah pemerintahan yang merangkum semua, betapapun pahitnya kritik karena semua itu demi kebaikan bersama.

Sampai di sini kita lalu bertanya, masih perlukah Pasal 134 dan 136 KUHP yang kini masih menjadi kontroversi keberadaan dan penerapannya? Benarkah aksi Fahrul Rahman itu merendahkan martabat Presiden dan tidak sesuai budaya Indonesia (Kompas, 31/10/2006)? Bukankah budaya kita selama ini adalah budaya diam (tidak dialektis) dan cenderung permisif oleh karena itu harus di hilangkan? Anda pasti tahu jawabannya, apalagi tuan Presiden kalau memang merasa dihina.[]

Dony Kleden Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0611/14/opini/3084176.htm

Soal Kursus, Indonesia Belajar Pada Jerman

In Opini on July 3, 2009 at 9:41 am

Juni 8, 2009 – 19:39
Kategori Nasional

JAKARTA (Pos Kota)- Indonesia akan belajar banyak pada negara Jerman perihal pengembangan lembaga kursus. Di negara tersebut kata Dirjen Pendidikan Non Formal dan Informal (PNFI) Depdiknas Hamid Muhammad saat ini memiliki 345 bidang keahlian kerja yang menjadi garapan lembaga kursus.

“Jadi masing-masing bidang keahlian kerja sudah sangat spesifik. Jenis ketrampilan kerja yang diperoleh lulusan lembaga kursus lebih terarah dan jelas,’ ujar Hamid di sela BBC Olimpic English-Matchematic Competition, Senin.

Spesifikasi bidang keahlian kerja ini menurut Hamid memudahkan dunia usaha untuk memperoleh tenaga kerja  yang diinginkan. Mereka tidak perlu melatih atau mendidik lagi  calon tenaga kerja tersebut.

Indonesia sendiri saat ini baru bisa mengembangkan sekitar 40 bidang keahlian kerja. Minimnya jumlah bidang  keahlian tersebut tidak semata-mata belum adanya lembaga  kursus yang mau mengembangkan lebih banyak bidang keahlian  tetapi juga terbentur pada masalah penjaminan mutu melalui  sertifikasi.

“Jumlah lembaga sertifikasi keahlian kursus masih sangat sedikit,” tambah Hamid.

Upaya mengembangkan lembaga kursus ke depan, kata Hamid, Indonesia akan berkiblat pada Jerman. Dengan demikian setiap lulusan lembaga kursus diharapkan bisa langsung  mengakses dunia kerja.

(inung/sir)

http://www.poskota.co.id/nasional/2009/06/08/soal-kursus-indonesia-belajar-pada-jerman

Problem Utama Dunia Sastra Kita

In Opini on July 2, 2009 at 1:34 pm

Oleh: Edy Firmansyah
Sabtu, 25 April 2009

PROBLEM utama yang paling serius dalam kesusastraan kita ialah menumbuh kembangkan minat sastra pada generasi muda. Bahkan kalau perlu mencuci otak anak-anak muda menjadi setengah sastrawan. Sebab lingkungan mereka (keluarga, sekolah dan mungkin negara) sepertinya punya sikap sinis terhadap sastra dan sastrawan.

Dalam keluarga misalnya. Kebanyakan orang tua akan mengutuk diri sepanjang hidupnya kalau akhirnya kecolongan punya anak atau menantu seorang sastrawan. Sebab dimata mereka sastra adalah “bidang pekerjaan” paling gila yang pernah ada. Dan mereka yang nyemplung di dalamnya adalah “orang gila”.

Nada lembaga persekolahan terhadap sastra dan sastrawan juga tidak jauh beda. Bahkan lebih brutal. Prilaku kurikulum pendidikan kita malah terkesan ingin menghapuskan etika atau akal budi yang bersumber dari karya sastra. Hal ini dibuktikan sampai saat ini pelajaran kesusasteraan masih sebagai bagian dari mata pelajaran lain, seperti bagian Bahasa lndonesia dan porsinya pun hanya 10 persen. Kalau diperguruan tinggi ia hanya bagian dari mata kuliah budaya dasar, porsi materi sastra 0,1 persen.

Seakan-akan sastra hanyalah pelajaran sampingan yang jika dalam keadaan mendesak layak untuk ditiadakan. Bebeda dengan matematika, fisika, kimia dan akuntansi. Ironisnya lagi generasi muda seakan percaya bahwa sastra memang tak bisa memberikan apa-apa. Apalagi memberikan titik terang pada masa depannya.

Sebenarnya banyak problem lain dalam kesusastraan, tapi ringan. Seperti sempitnya jalan menuju singgana sastra karena system akomodasi yang terlunta-lunta, terutama bagi pemula. Tersumbatnya saluran regenerasi akibat pengapuran yang sengaja dibuat generasi tua dan media massa.

Ada juga problem tentang munculnya saluran baru kesusastraan yang sengaja dibuat generasi muda seperti gua bawah tanah dalam perang gerilya karena mampatnya saluran lama, yakni sastra cyber. Yang mana setelah diproklamirkan kemunculannya menjadi perdebatan. Bahkan dituding-tuding sebagai sastra “sampah”.

Tapi ini pun masih bukan problem serius. Yang menjadi problem utama kita bagaimana menumbuhkan minat sastra pada generasi muda. Sebab sastrawan generasi tua mulai bengok-bengok bahwa kita kekurangan sastrawan. Dari 1 juta penduduk hanya lahir satu sastrawan. Sedangkan idealnya dari 1 juta penduduk perlu 10.000 sastrawan baru.

Ini artinya kita kekurangan juru damai. Dan dampaknya akan sangat menyeramkan; jiwa manusia muda Indonesia akan mudah tersulut dan tenggelam dalam lautan bencana moral yang secara tiba-tiba membesar dan meluluh lantakkan etika negeri ini. Tawuran, pemerkosaan, free sex, pembunuhan dan narkoba yang kerap dilakukan generasi muda setidaknya bisa menjadi bukti kongkret.

Ya. Sebab sastra tidak menjadi panji utama penjaga etika di negeri ini. Padahal sastra berfungsi sebagai agen pendidikan membentuk pribadi keinsanan seseorang dan memupuk kehalusan adab dan budi kepada individu serta masyarakat agar menjadi masyarakat yang berperadaban. Fase-fase pemikiran ini jelas memberi pengetahuan bahwa sastra berkaitan dengan pemikiran, pendidikan, dan akal budi manusia.

Tegasnya Friedrich Schiller mengatakan sastra semacam permainan menyeimbangkan segenap kemamuan mental manusia berhubung dengan adanya kelebihan energi yang harus disalurkan. Dengan kesusastraan, seorang diasah kreativitas, perasaan, kepekaan dan sensitivitas kemanusiaannya, sehingga terhindar dari tindakan-tindakan yang destruktif, sempit kerdil dan picik (Darmaningtyas, 2004;81). Bahkan kalau kita mau melakukan refleksi lebih mendalam bahwa para sastrawan yang kaya secara material murni merupakan hasil jerih payahnya menciptakan karya yang berkualitas. Seorang Joni Andriadinata yang dulunya pernah menjadi tukang becak di Jakarta, kini telah punya rumah sendiri, mobil sendiri karena keseriusannya menekuni dunia sastra. Beda dengan Insinyur sipil yang kaya, kebanyakan karena terlalu besar mengkorup biaya konstruksi. Akibatnya bagunan menjadi buruk. Juga para dokter yang kaya pada umumnya karena ekslotatif terhadap pasien. Tapi mengapa cita-cita anak selalu ingin menjadi dokter atau insinyur. Tidak menjadi sastrawan?

Menurut hemat penulis, mungkin karena lambang kesenimanan di Indonesia adalah “binatang jalang” sehingga citra buruk pun terbentuk pada kaum sastrawan atau seniman; kumal, awut-awutan, berambut gondrong, mungkin malah tatoan seperti gali. Nah, penampilan luar inilah yang sering menjadi cercaan public tentang sastrawan.

Karena itu, jika kita menginginkan generasi muda punya minat terhadap sastra atau malah tertarik menjadi sastrawan, mengapa tidak mulai dari sastrawan atau seniman itu sendiri melakukan perubahan. Yakni dengan merubah penampilan luar para sastrawan ketika muncul dihadapan public. Dengan menyesuaikan cara berprilaku orang kebanyakan. Tujuannya untuk membangun citra positif bahwa tak semua sastrawan memilih jalan Chairil Anwar. ***

.

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=225420