sekedar mendokumentasikan apa yang perlu didokumentasikan

Posts Tagged ‘blogger’

Surat Kepada Kawan (Blogger)

In Opini, Refleksi on January 3, 2010 at 12:08 pm

KITA… adalah kaum yang jenius, yang luas wawasannya, luas pergaulannya, tinggi akal budinya, tak terbatas nalarnya, kaum super yang bisa mengulas apapun dan siapapun. Begitu super, menembusi alam fana ini, sehingga bisa membahas malaikat, setan dan bahkan Tuhan sekalian. Inilah kaum kita nan gagah perkasa, yang berisi orang-orang tercerahkan, harapan masa depan, cerdas tiada banding, cerdik tak terperi, begitu luas cakupan pikirannya hingga bisa menghina para Nabi dan Rasul jika bicara poligami sebagai sumber kekejian tiada tara, menyalahkan Tuhan jika loudspeaker mushala dekat rumahnya mengganggu tidurnya, mencemooh agama dan ilmu pengetahuan sekalian, pokoknya APAPUN!

Tidakkah ini hebat?

Tapi… berapa banyak dari kita, teman, yang siap-sedia berbulat-mufakat bicara ketidak-adilan di negeri ini, memprotes hal-hal yang kasatmata dan bukan hal gaib yang sudah level sufi itu? Berapa banyak pula dari kita, teman, yang mau sedikit anarkis menentang busuknya roda pemerintahan di bumi dimana kaki berpijak dan ayah-bunda kita hidup dan mencari nafkah, memperlihatkan pada dunia bahwa di tanah ini ada aparat-aparat yang petantang-petenteng memperlakukan anak-anak sebangsa-setanah air sebagai musuh, sebagai berjuta warga negara republik Rayuan Pulau Kelapa yang nasibnya serupa nyiur melambai, dimainkan sesuka hati?

Selama ini, teman, engkau dan aku hidup nyaman seperti pemalas di warung kopi. Hari-hari diisi dengan segala hal yang bisa dibahas, tentang mereka yang berambisi masuk sarang-sarang megah di Senayan, tentang prediksi calon-calon Raja dan Wakil Raja yang sudah konak hatinya untuk bersemayam di istana-istana mewah negeri ini.

Di sisi lain warung kopi virtual ini, ada pula dari kalangan kita, teman, yang begitu jantan, gagah perkasa, berani dan bernyali, begitu jenius, begitu pantas diandalkan, jika bicara pasal apakah Tuhan masih ada atau sudah mati kena rabies di zaman purbakala. Tak ada bandingan jika sudah bicara tentang nasib seumpama dadu yang dinafikan Einstein, lengkap dengan teori-teori, grafik dan sekarung logika. Tak boleh – karena hebatnya – dianggap penghinaan pada agama jika bicara muasal manusia, apakah dulu berasal dari Adam dan Hawa, ataukah setali-ayunan dengan bangsa kera maka berekor pula. Begitu bebas berpendapat – dan untuk ini siap berdebat lebih lama dari puasa Daud yang 40 hari 40 malam – pasal teori mutakhir bahwa mungkin manusia berasal dari sebutir telor ayam hasil hubungan incest di kerak neraka jutaan tahun silam.

Kita, begitu tinggi menilai diri sendiri, tak tersentuh hukum dan Tuhan sekalian. Kita, teman, tak sadar bahwa kita ini mungkin jenis yang overvalued, yang merasa sangat berharga, andalan homo sapiens untuk membahas kepentingan umat manusia melampaui tata surya dan galaksi ini. Kita kaum yang bisa meradang marah bukan main, ketika seorang pakar kesiangan yang ahli dalam bidang gambar porno seenak moncongnya mengatakan bahwa blog, dunia kita ini, adalah trend sesaat. Oho! Kaum mulia macam kita ini, yang bisa bicara segala hal di muka bumi bahkan bisa mencibir alam barzah, yang siap membahas definisi manusia dari rambut hingga ke jembut, dari hidung yang mekar sampai biji zakar, tak bisa menerima penghinaan demikian! Terkutuklah yang mengatakan itu!

Ta… tapi… temanku, dengan kehebatan serupa itu, sekali lagi, seberapa tangguh dan seberapa besar pula persaudaraan kita, para blogger, untuk sama-sama mufakat peduli pada saudara-saudara se-tanah air? Meskipun itu cuma dengan menuliskan fenomena sosial tentang ketidak-adilan yang mereka derita. Tentang emak-emak yang diusir dari lapak-lapak jualan. Tentang anak-anak putus sekolah yang menjadi anak jalanan. Tentang pelacur yang tak lebih hina dari orang-orang yang menangkapinya. Tentang laku busuk anggota dewan yang bisa enak ngentot dengan artis lalu menggelar doa tolak bala dengan mengundang seorang ustad dalam satu pengajian dan tak ada yang berani mengepung rumahnya sebagai kutukan, bahkan tidak juga front yang pernah gagah berani pada seorang Inul, yang dulu gagah dibekingi oleh orang-orang seagama cuma untuk berhadapan dengan miras di Solo.

Aku naif, sekali lagi: Ya.

Tapi lihatlah pula fenomena yang pernah dan akan tetap ada, bahwa ada orang-orang yang sehaluan-sepaham – atas nama agama dan Tuhan Semesta Alam – sibuk bukan kepalang bersekutu macam kawanan lembu jika jauuuuhh… jauuuhh… di luar negeri sana ada manusia yang dibunuh, balita mati karena dibom. Jauuhh… di Gaza, di Palestina, di Irak, di Afghanistan, hingga kawasan Balkan. Gagah berani, lengkap dengan tempelan pekik “Allahu Akbar!” dan gambar-gambar para pejuang jihad yang perkasa. Lihatlah empat postingan perihal Gaza di blog busuk ini sendiri! Seakan-akan itu satu-satunya kepedulian yang dianjurkan Tuhan, seakan-akan itulah kemanusiaan yang sesungguhnya kemanusiaan: Cuma sebatas seagama sahaja!

Persetan jauh mereka di luar negeri sana, dan persetan ada yang menderita pula di negeri ini. Semua itu cuma jadi bagai selintas iklan tak berfaedah di layar kaca. Tanyakan pada mereka yang diazab lumpur di Sidoarjo!

Kita, teman, juga pernah mencemooh orang-orang yang sibuk bicara tentang ideologi dan impian negara bersyari’ah Islam, kita hajarkan mereka dengan sekian alasan, dan menuduh orang-orang ini mengatas-namakan agama, menuduh mereka cuma berani pada urusan selangkangan dan minuman keras oplosan belaka, tapi pada kenyataan boleh jadi kita sama macam mereka.

Tidakkah kita demikian? Cuma gede bacot jika bicara hal-hal yang aman-sentosa berbahagia dari jangkauan hukum dan aparat negeri ini. Engkau bisa melecehkan Tuhan suatu agama karena alasan kebebasan berekspresimu, karena engkau tahu Tuhan tidak akan turun menampar-nampar mukamu yang dungu itu. Engkau bisa menghujat para Nabi dan Rasul dengan alasan yang sama, karena engkau tahu ada selubung HAM yang bisa kau pakai untuk kebebasanmu. Hebat! Menakjubkan!

Tapi, akung seribu kali akung, engkau pun mungkin sama dengan para pecundang yang berkoar-koar atas nama agama itu. Tak ada nyali dan pedulimu pada ketimpangan sosial di negara ini. Benar kawan, cocoklah kita sekandang, setali tiga uang. Apakah yang percaya teguh pada Tuhan, meragukan Tuhan, menyembah setan, mempersetankan Tuhan atau penganut klenik canggih bernama ilmu pengetahuan ilmiah, agaknya kita sama saja, bukan?

.
.
.
Lihatkah engkau gambar 3 ekor monyet fatalis di atas itu, yang digelar indah: Three Wise Monkeys?

Wise…? Jika engkau memang tak peduli apapun dan tidak pernah bicara apapun, percayalah mungkin engkau memang wise, teman. Arif bijaksana mencari keselamatan dunia dan akhiratmu sendiri. Tapi jika engkau sama sepertiku, berkeliaran, menebar dan bergelut dengan ragam sengkarut muka bumi, tapi tak peduli pada kehidupan sosial di depan mata sendiri, itu bukanlah wise. Itu lebih pantas digelar satu kata: Pengecut.

Karena mungkin kau sadar bahwa, tidak seperti Tuhan yang bisa kau hina-dina sesukamu, para Nabi dan Rasul atau Kitab Suci yang bisa kau lecehkan seperti kertas toilet, tanpa khawatir malaikat turun bagai Keanu Reeves dalam film Constantine untuk mengirimkan kau dengan one way ticket ke neraka, di dunia fana ini kau akan berhadapan dengan pasal-pasal karet yang bisa menggiring hamba hukum ke pintu rumahmu.

Mungkin itulah kita selama ini, teman, seperti 3 monyet itu. Bertengger tinggi di pucuk pohon wawasan yang berbuah pengetahuan, duduk seperti dewa di menara gading intelektualisme, mencemooh orang-orang awam sebagai homo sapiens tak berguna, tidak tercerahkan, tidak intelek, tidak kenal gagasan Dawkins atau karya Gibran, tak paham seni dan jika berseni seninya adalah murahan, fanatikus dungu yang percaya adanya Tuhan, para bigot yang cocoklah hidupnya melarat berkubang di banjirnya saluran air got.

Tapi kita pun naif, teman. Tak sadar diri, bahwa kita ini adalah sampah juga adanya, lebih hina dari mereka yang hidup tak seberuntung kita, yang tak bisa mencari Tuhan dan pencerahan di internet dengan bertanya pada sekumpulan dukun di padepokan Google.com, yang tak bisa sesuka hati mencengir, tertawa, onani bahkan gosok gigi di depan monitor seperti yang bisa kita lakukan jika kita mau. Sampah, karena dengan kemampuan tersendiri untuk membantu mereka, bahkan dengan menuliskan ketimpangan hidup mereka, cuma diam dan tak peduli. Kita lebih suka, teman, meratapi hidup sebagai kekecewaan dilahirkan, meski kita punya segala kemudahan yang tidak pernah membuatmu mesti mengemis atau membuka lapak di kaki lima macam mereka yang melarat. Kita lebih aman untuk mengutuki nasib sebagai kesalahan Tuhan yang kemudian dilampiaskan dalam ragam sengkarut caci-maki berbalut teori-teori, dan mencemooh mereka yang percaya pada agama, mereka yang terjebak dalam kehidupan sehari-hari sebagai orang awam, mereka yang mengais rezeki baik secara halal atau sebagai kriminal, sebagai jambret, sebagai rampok, sebagai copet, sebagai pelacur.

Ini, teman, perihal peliknya kehidupan yang kita bahas dengan statistik dan ulasan-ulasan dari para intelektual dan agamawan yang sudah tercerahkan, sementara nyatanya akan tetap lahir orang-orang yang bersedia pasang bom bunuh diri dengan bayaran dunia dan iming-iming sorga.

Dan untuk semua itu, dengan IQ yang tes-tesnya tersedia di internet ini, kita pun bisa pintar meletakkan bahasa indah “Ignorance is bliss” sebagai alasan, bahwa layaklah kita untuk hidup nan bebas tanpa peduli apa-apa macam iblis. Sesekali kita bisa pula meminta diakui sebagai manusia, yang punya hak, hak dan hak. Cuma hak dan hak. Tak ada kewajiban. Tak-ada-kewajiban-kemanusiaan. Semua itu ilusi, palsu, sepalsu Tuhan yang sudah mati! Hidup kecerdasan! Hidup pencerahan! Hidup intelektualitas! Hiduplah filosofi!

Terpujilah Nietzsche!

Engkau tertawa, teman, karena postingan ini macam meradang tiada faedah? Ya, engkau punya hak, memang. Selalu engkau punya hak. Selalu dan selalu, tak ada yang bisa mencabut hakmu seperti dokter gigi yang tak bisa mencabut gigimu jika kau menolak sepenuh hati, bukan?

Tapi, mari aku beritahu satu hal: Kemiskinan, rendahnya mutu pendidikan, dan umat yang bodoh dan bigot dimatamu, yang mungkin engkau cengiri jika meratap berzikir pada Illahi Rabbi, bukanlah sesuatu yang turun dengan tiba-tiba. Pangkalnya pada ketidak-adilan, teman, yang tak bisa kita tutupi dengan sengkarut teori-teori dan filosofi setinggi langit. Membahas Tuhan sebagai pangkal musibah kehidupan, bagimu mungkin mencerahkan, tapi akar busuknya masih terpampang pada polah mereka yang bercokol di ragam institusi negeri ini. Sampai kapan, teman, engkau akan sekandang dengan para penyembah berhala bernama AGAMA (dan bukannya Tuhan), yang mengasingkan diri sebagai sufi-sufi pertapa yang egois mencerahkan diri-sendiri lalu enak menyumpahi umat di muka bumi, di nusantara ini?

Maka, inilah permintaanku: Mohonlah sisipkan kepedulianmu pada saudara-saudara senegeri ini, pada jutaan mereka yang tak seberuntung engkau dan aku. Engkau, teman, tak harus masuk dunia politik yang penuh mistik dan intrik itu, cuma untuk peduli. Engkau, teman, tak harus bikin organisasi hebat untuk peduli. Sungguh! Cukuplah engkau membuka matamu, melebarkan telingamu, dan menuliskan fenomena sosial yang kasatmata di masyarakatmu, di kotamu, di kabupatenmu, di propinsimu, di negara Rayuan Pulau Kelapa ini, agar tahulah aku bahwa engkau, teman sesama blogger, masih pantas aku anggap manusia yang punya rasa, bukan bangkai berjalan di muka bumi.

[]

Alex Hidayat
http://the.tintamerah.info