sekedar mendokumentasikan apa yang perlu didokumentasikan

Posts Tagged ‘kritik’

Presiden dan Tukang Kritik

In Opini on July 4, 2009 at 3:05 pm

Dony Kleden*

APABILA tukang kritik dibungkam, demokrasi menemukan ajalnya. Kehadiran tukang kritik adalah suatu keniscayaan dalam sebuah pemerintahan yang demokratis. Menihilkan tukang kritik sama dengan membangun pemerintahan yang tiran dan otoriter.

Bangsa Indonesia dihebohkan dengan pemberlakuan Pasal 134 dan 136 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berisi hukuman bagi mereka yang menghina presiden. Kontroversi tentang keberadaan, penafsiran, dan penerapan pasal ini masih berlanjut. Yang kontra menginginkan agar kedua pasal ini dihapus karena merupakan produk penjajah yang dilestarikan rezim Orde Baru (Orba). Sementara itu yang pro berusaha mempertahankan demi wibawa Presiden.

Baik pro maupun kontra tentu punya kepentingan di balik itu. Yang jelas, sejak pemerintahan SBY-JK sudah lima orang dituntut di pengadilan karena dinilai menghina Presiden.

Mereka adalah Bay Harkat Jhonday Firdaus (mahasiswa, 24), didakwa membakar foto SBY dan JK, menentang kenaikan BBM; I Wayan Gendo Suardana (mahasiswa, 29) didakwa menghina Presiden karena membawa poster SBY yang wajahnya dicoret-coret bak drakula; Fahrul Rahman (mahasiswa, 22), didakwa menghina Presiden saat menjadi orator dalam ujuk rasa Aliansi Rakyat Bergerak dan Adili Soeharto; Pandapotan Lubis (wiraswasta, 42), didakwa menghina Presiden karena memasang spanduk dan foto SBY dan JK yang bertulis No Trust dan Go Down; dan Eggi Sudjana (pengacara, 46), didakwa menghina Presiden karena menyebut Presiden menerima mobil jaguar dari pengusaha Harry Tanoesoedibjo.

Korban-korban penggunaan pasal penghinaan presiden menggugat ke Mahkamah Konstitusi. Mereka meminta supaya pasal ini dihapus (Tempo, 15/10/2006)

Penghinaan atau kritik?

Pertanyaan paling awal saat berhadapan dengan kasus yang kini sedang ditangani terkait penghinaan Presiden adalah, apakah itu penghinaan atau kritik? Apa esensi dan jangkauan kedua kata ini?

Kedua kata ini punya kandungan arti berbeda. Penghinaan cenderung berbuah sentimen, iri hati, dan tidak ada motivasi luhur di balik aksi itu. Sementara itu kritik selalu punya motivasi luhur, karena memperjuangkan sesuatu yang nilainya tinggi.

Berpijak dari perbedaan sederhana ini sebenarnya cukup untuk menempatkan apakah aksi-aksi yang oleh mereka yang mengatakan sebagai penghinaan terhadap Presiden bisa dinegasi. Jika kritik disamakan dengan penghinaan, yang muncul adalah saling menyerang dan menyalahkan lalu lupa esensi dari kritik itu sendiri.

Pada dirinya mengandung dua fungsi, prefentif dan kuratif. Fungsi prefentif kritik adalah mau mengingatkan agar segala kemungkinan negatif tak terjadi dan karena itu harus diantisipasi (fungsi kontrol).

Maka, fungsi kritik jangan dilihat sebagai post factum, sebab jika tidak, kritik akan jatuh ke arti negatif lalu disebut sebagai penghinaan. Kritik berfungsi untuk menghindari keadaan abuse of power.

Sementara itu fungsi kuratif bertujuan memperbaiki kesalahan atau menormalkan situasi. Seorang pemimpin yang rasional selalu melihat kritik dalam dua fungsi ini. Jika tidak, ia akan mudah tersinggung dan amat sensitif terhadap kitik.

Budaya kritik dan demokrasi

Dalam pemerintahan yang demokratis, budaya kritik harus dikembangsuburkan. Pemerintahan yang demokratis meniscayakan budaya kritik karena budaya kritik dapat mendinamisasi sebuah pemerintahan. Kritik sebenarnya memberi sintesis perbaikan dan penyempurnaan untuk proses menegara. Seno Gumira Ajidarma dalam epilog buku Matinya Tukang Kritik (2006) karya Agus Noor mengatakan, dunia bertambah sempurna karena kontribusi sikap kritis. Karena itu, berlaku diktum, kritik mutlak perlu demi kemajuan zaman dan kebaikan bersama. Dengan kata lain, keberadaan kritik mutlak sebagai bagian idealitas sendiri, dan di sanalah kritik ideologi mendapat pembenaran atas kehadirannya. Lagi katanya, lenyapnya tukang kritik, bukan sukses kebudayaan, tetapi awal ketertindasan baru.

Kini menjadi jelas, hadirnya tukang kritik menjadi pilar sebuah pemerintahan yang demokratis. Matinya tukang kritik melahirkan pemerintahan yang tiran dan otoriter. Dalam sejarah bangsa Indonesia, kita mengalami matinya tukang kritik pada rezim Orba yang disebut rezim pemangsa. Pada rezim itu, hadirnya tukang kritik ditabukan. Geliat politik Orba selalu dalam pengawasan dengan sistem panotisme, sistem kekuasaan yang menyentuh kesadaran (Michel Foucault, 1979). Sistem kekuasaan yang panoptik membuat orang ada dalam ketakutan. Rakyat lemah inovasi, bahkan hak-hak politiknya digerayang dan dikebiri rezim pemangsa.

Selama 32 tahun kita mengalami sistem pemerintahan panoptik yang kasar. Sri Bintang Pamungkas adalah salah satu tokoh tukang kritik yang dipasung. Ia dituduh menghina Presiden Soeharto sehingga dijatuhi hukuman penjara.

Kini kita yang hidup di alam reformasi tidak ingin kembalinya pemerintahan yang tiran, pemerintahan yang otoriter. Kita ingin agar tiap warga bebas mengaplikasikan hak-hak politiknya. Janganlah ada hak politik yang dibungkam, janganlah ada kebebasan yang dirampas. Pemerintahan yang demokratis adalah pemerintahan yang merangkum semua, betapapun pahitnya kritik karena semua itu demi kebaikan bersama.

Sampai di sini kita lalu bertanya, masih perlukah Pasal 134 dan 136 KUHP yang kini masih menjadi kontroversi keberadaan dan penerapannya? Benarkah aksi Fahrul Rahman itu merendahkan martabat Presiden dan tidak sesuai budaya Indonesia (Kompas, 31/10/2006)? Bukankah budaya kita selama ini adalah budaya diam (tidak dialektis) dan cenderung permisif oleh karena itu harus di hilangkan? Anda pasti tahu jawabannya, apalagi tuan Presiden kalau memang merasa dihina.[]

Dony Kleden Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0611/14/opini/3084176.htm